Monday, October 22, 2012

Kapurung...


Kapurung...
Dari namanya, mungkin tidak banyak orang yang familiar, apalagi di tanah Sunda seperti Bogor ini...
Kapurung memang bukan makanan khas masyarakat Bogor. Hmm, well sedikit ego mungkin karena kangen yang amat sangat dengan masakan yang biasa dibuatkan mamak saya ini. Saking kangennya mbela-belain masak dan menjadikan teman-teman saya sebagai korban penikmatnya...
Kapurung adalah makanan khas dari Luwu, Sulawesi Selatan. Orang yang berdarah bugis atau pernah berkunjung ke daerah Luwu biasanya "ngeuh" sama makanan ini. Basically, bahan dasar makanan ini adalah sagu (salah satu bawaan wajib kalo abis mudik " sagu kering"). Kalo di kawasan paling timur Indonesia, sagu diolah menjadi Papeda yang biasanya disantap dengan kuah kuning atau sayur. Nah, agak geser ke daerah tengah Indonesia, sagu tadi disajikan dalam bentuk bola-bola kecil bercampur sayur mayur dan ikan/daging. 
Dari beberapa langkah memasak Kapurung ini, yang paling membuat tegang adalah cara mengolah sagunya. Sagunya tidak dimasak diatas kompor, melainkan disiram dengan air mendidih. Kalo takaran sagu dan airnya tidak pas atau airnya gak sampai mendidih, gak akan jadi deh itu adonan sagunya. Bisa keenceran atau kekentalan. 


ini adonan sagu yang sudah jadi, trus dibentuk jadi bola-bola sagu kecil

Nah, kalau di tempat asalnya sayuran-sayuran di dalam kapurung biasanya terdiri dari daun kacang/daun bayam/ daun melinjo, kacang panjang, terong bulet, jagung, jantung pisang, ditambah asam patikala (yang ini gak tau bahasa Indonesianya T.T ). Disamping itu sering dicampur ikan/daging sapi/daging ayam dan kacang goreng sebagai bahan tambahan. Bumbunya sendiri sangaaat sederhana, cuma perlu cabe rawit, tomat, garam, dan terasi. Pelengkap terakhir, jangan lupa kuah ikan masak dan air jeruk nipis. Jadi deh Kapurung yang lezat dan bergizi. Kalo dari rasanya sebenarnya adek kakak-an sih sama Tom Yam dan Sayur Asem, pedes dan asem. Paling pas dinikmati saat masih panas-panasnya.

Begini penampakan Kapurungnya....

Kalo menyadur quotenya Anthony Bourdain yang dicontek dari account sebelah, makanan itu soal budaya. Apa yang menjadi hasil proses belajar hidup sebuah komunitas masyarakat. Seperti halnya terciptanya Kapurung dengan memanfaatkan hasil alam yang memang melimpah di lingkungan. Di tanah asalnya, Kapurung tidak pernah luput dari keseharian masyarakat. Makanan ini juga bukan makanan yang bisa dinikmati hanya oleh satu dua orang, tetapi makanan yang memang paling cocok dinikmati segerombolan orang. Kenikmatan tiada tara memang saat tanding-tandingan menyendok kapurung ke piring masung-masing lalu di-sruput (lupa bilang, kalo makan sagunya itu gak dikunyah, tapi langsung ditelen :D ), kadang sampai lupa udah nambah berapa kali. 
Hmm, sayangnya di Bogor ini belum ada saya temukan warung yang menyediakan Kapurung jadi tak bisa merekomendasikan tempat yang pas. Well, silahkan berkunjung ke tanah Sulawesi Selatan kalau mau mencoba.. heheh.. 

   

Thursday, October 11, 2012

Merapat ke Hutan Rakyat...

Dipojokan ini, dua minggu sekali kami mengadakan obrolan. Title-nya sih "Kamisan", karena emang dilaksanakannya tiap hari Kamis. Intinya sih berbagi pengetahuan, tidak ada narasumber tunggal. Setiap orang menjadi narasumber bagi teman yang lain.

Obrolan ini sekarang sedang merapat ke Hutan Rakyat. Teman-teman tertarik berbagi pengetahuan seputar Hutan Rakyat atau small scale forestry. Kenapa ini menjadi topik yang menarik?

Ada teman yang bercerita, bahwa dibeberapa literatur seperti disini misalnya menyebutkan bahwa muncul tren pengelolaan hutan oleh masyarakat yang hasilnya - volume/potensi kayu dan penghasilan - ternyata lebih besar daripada hutan negara yang dikelola BUMN. Tren ini kemudian membawa kami kepada sebuah kesimpulan bahwa : seyogyanya masyarakat bisa - tanpa harus diatur dan diperintahkan - memenuhi kehidupan ekonominya sendiri.

Banyak cerita hasil jalan-jalan teman-teman di pojokan ini yang membuktikan simpulan tersebut. Seperti cerita yang di bawa dari Ciamis dan Tasikmalaya, 2010.. Ada loh gelar Haji Sengon karena bisa naik haji dari hasil menjual kayu sengon, ada yang bisa menyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi, ada yang punya kendaraan sampai untuk membiayai hajatan. 

Itu cerita indah-indahnya... dibalik itu, tetap saja banyak cerita-cerita yang tidak sukses melulu...Hmm, mungkin bukan tak sukses, tapi lebih ke, masyarakat atau petani tidak mendapatkan apa yang mereka harapkan... But, sebelum membahas yang tak sukses itu... teman-teman sedang membahas tentang modal sosial...

Modal sosial...
Apa sih modal sosial itu..?
Modal sosial adalah sesuatu yang secara genuine sudah melekat dalam satu kelompok masyarakat. Durkheim menyebut istilah “modal sosial” untuk menyatakan ikatan sosial antarmanusia di dalam sebuah masyarakat sangat penting untuk membentuk kohesivitas  sosial dalam mencapai tujuan bermasyarakat. Ia merupakan sebuah kekuatan untuk mencapai tujuan hidup bersama yang tidak mungkin dicapai secara personal (dikutip dari sini). Modal sosial menjadi sebuah trigger dalam sebuah masyarakat untuk mencapai tujuan bersama. Trust saya anggap sebagai sebuah kebutuhan laten untuk merekatkan modal sosial tersebut. 

Modal sosial dalam masyarakat dapat ditangkap dalam berbagai bentuk, misalnya saja kelompok tani hutan rakyat. Komunitas hutan rakyat yang secara bersama-sama memantapkan diri untuk membentuk kelompok unit manajemen kemudian mengikuti sertifikasi untuk memperoleh nilai tambah dari produksi hasil hutannya. Atau tidak perlu jauh-jauh, dalam keseharian masyarakat pedesaan misalnya masih banyak ditemukan budaya gotong royong, bersama-sama membersihkan kampung, saling membantu saat ada tetangga yang hajatan atau membersihkan makam sebelum lebaran dan lain-lain.

Kemassive-an modal sosial dalam masyarakat bukanlah hal yang tidak mungkin hilang, hasil obrolan hari ini, faktor kepentingan yang berbeda-beda bisa secara perlahan menggerus modal sosial masyarakat. atoo, efek globalisasi mungkin masuk juga kali yaa...Mengingat banyak sekali pengaruh teknologi yang semakin memperpendek jarak komunikasi/informasi tapi konon mendegradasi kualitasnya...

Nah, sudah dulu cerita tentang modal sosial...
Diskusi hutan rakyat masih akan berlanjut...