Monday, November 5, 2012

Ngubek-ngubek Pasar Senen

Weekend itu kalau lagi gak punya jadwal diapelin ato ngapelin orang emang paling enak hang out bersama teman-teman.
Weekend dua minggu yang lalu saya ber-hang-out bersama Mbak Wita dan Kak Baqi.
Sudah lama sebenarnya penasaran sama yang namanya "Pasar Senen". Tapi baru berkesempatan nge-bolang kesana waktu itu.
Dari cuap-cuapnya temen-temen, konon di sana banyak pakean lucu yang murah meriah.
Yaa, tanpa malu-malu saya ngaku... Gak bikin ngiler gimana kalo ada barang, lucuu, murah. Thats two words bisa mbikin mata mblotot. Apalagi ngeliat baju-bajunya si Fini yang out from Pasar Senen emang lucu-lucu. Gak perlu bermerek Zara, Guess dll for being nice look :)).
Naah, back to the topic then...
Kami melajulah ke Pasar Senen...
Berangkat dari markas (read: Dramaga) sekitar pukul 11.30 WIB. Menuju Laladon (via Kampus Dalam) kemudian Stasiun Bogor (via angkot 03; alternate-nya 02). Sesampai di Satsiun kami ke loket dan membeli tiket Commuter Line tujuan Jakarta Kota (harganya Rp. 9.000). Tadinya saat menunggu kereta, kami sempat berdiskusi dan memutuskan untuk naik kereta menuju Tanah Abang saja (gak perlu ganti karcis, kata abang2 sekuiriti boleh pake karcis yang ke Kota). Nah setelah naik ke kereta jurusan Tanah Abang, diskusi kembali berlanjut dan memutuskan untuk kembali naik ke kereta jurusan Jakarta Kota (hadeuuh, tante tante pada ababil.. Zzzzz!).
Entah kenapa hari itu kereta penuh dengan sadisnya. Kami berdesak-desakan di gerbong wanita. Ini layanan publik yang seharusnya dapat perhatian lebih. Udah naikin harga, kursinya gak cukup, ac-nya gak berasa, ini udah yang harganya Sembilan Ribu Rupiah loh yaa. Apa jadinya yang harganya Dua Ribu Lima Ratus Rupiah. Ok, back to the topic (again).
Kami memutuskan turun di Stasiun Cikini (sesuai pedoman petunjuk menuju Pasar Senen oleh si Fini), kemudian menuju pangkalan metro mini no. 17. Bus ini yang kemudian membawa kami melaju menuju Pasar Senen, dan mewanti-wanti abang keneknya supaya kami diturunkan di tempat yang tepat. Tak berapa lama kemudian, kami tiba di Stasiun Senen (tempat yang tepat untuk turun kata abang keneknya), menyebrang dan masuk ke Pasar Senen.
Sepanjang mata memandang....... hmm, kok cuma ada yang jualan sayuran yaaa....
Hipotesis kami, mungkin bagian stand bajunya ada di dalam. Kami buktikanlah hipotesis tersebut dengan berjalan ke dalam pasar.
Menengok kiri kanan, berjalan menyusuri lorong pasar yang remang-remang... NIHIL.
Tetep aja yang ketemu penjual cabe, pete dan jengkol. Zzzz!
Mbak Wita, sebagai orang yang berpengalaman pernah sekali ke Pasar Senen menggeret kami menuju ke lantai atas.. Sapa tau barang yang kami cari ternyata ada di sana...
Dan kemudian setelah tiba di atas.....
Belum juga kami temukan stand baju-baju lucu. Zzzzz! -_-
Berinisiatiflah kami menelpon Fini si penyusun pedoman petunjuk menuju Pasar Senen. Ternyata oh Ternyata, kami memang salah masuk pasar. Jadi untuk menuju ke tempat yang menjadi tujuan kami sebenarnya. Kami harus keluar pasar sayur menuju ke Bangunan sebelah Kanan yang kalo gak salah inget namanya Pusat Grosir Senen Jaya. Nah, ini tuh pusat grosir jam tangan. Segala mcam KW merek-merek jam tangan kayaknya ada deh di sini. Masuk ke gedung itu, teruuuus aja ampe keluar gedung lagi, menuju gedung ijo, buluk, kumuh yang ada di sebelah kiri bangunan.
Tedeeeng! Sampe deh di Pasar Senen yang dimaksud dan di tuju sedari tadi. Fiuhhh!
Dari depan, sudah banyak lapak-lapak yang jualan baju dan celana. Kami akhirnya memutuskan naik ke atas dan di sambut dengan teriakan : " YAK! MAREBU..MAREBU..MAREBU. YANG DI ATAS MEJA MAREBU SAJA! repeatly.
Akhirnya kami menuju ke tempat yang banyak peminatnya. Makin banyak orang, bisa berarti makin bagus barangnya, dan bisa membuat makin semangat membongkar-bongkarnya. Dengan mengamankan tas terlebih dahulu (tas ditaik ke depan badan) kami pun mulai beraksi. Ngubek san ngubek sini. Narik sana narik sini. Kesenengan nemu baju harga Rp. 5.000. Haahaa.
Dari tempat pertama saya berhasil menggondol 1 baju (masih punya label, lucu). Nah pindah ke tempat ke-2.. ke-3.. Intinya mah muter-muterin ngubek-ngubekin isi pasar sampai berpeluh berasa abis Kardio selama sejam. Fiuuhh!
Ehh..ehh.. tapi ada yang lucu lohh. Ntah itu lapak ke berapa yang kami datangi. Isi lapaknya jaket dan sweater gitu. Didepannya ada lapak yang ngejual dress dengan abang-abang yang sangat amrazing -__-.
jadi abangnya ini di setiap kalimat-kalimat provokatifnya untuk mengajak orang-orang mampir melihat barangnya hmm.... maksudnya barang dagangannya, pasti diakhiri dengan kata CIYUSSS?! MIAPAAAH?!. Ahhh abang ini ciyus banget sepertinya mengikuti perkembangan bahasa gehoull. Karena dia berisik pake bangeeet! kayaknya ada yang negur, dan kemudian dia ngomel sendiri sambil tetap dengan menggunakan suara lantangnya dia : IHH MBAK! INI KAN PASAR.. WAJAR DONG KALO BERISIK. KALO MAU SEPI KE SANA AJA, KE NERAKA. dan teteup diakhiri dengan CIYUS?!! MIAPAH!! (Zzzzz! this Ciyus Miapah thing sometimes will make your killing instinct reveal). Hahaa.
Setelah mengelilingi pasar dengan waktu kurang lebih 3 jam yang sangat tidak berasa. Kami kembali ke lapak no.1. Ternyata pakean-pakean yang di gantung itu lucu-lucu juga lohh. Sepertinya ini yang gradenya bagus. Akhirnya kami memilih beberapa (hmm, yaa 11 potonglah) dari pakean yang di gantung-gantung itu. Penawaran sengit terjadi antara kami dan abang-abangnya. Dan akhirnya abangnya menyerah pada angka Rp. 210.000 untuk 11 potong pakean (Muraaaah kaan! Kalo beli pakean di butik-butik Boqer, itu baru bisa dapet 1 baju T.T *air mata terharu bahagia*). Oia, dan di akhir si abangnya minta bonus nomer PIN Blackberry Kak Baqi (Haha, ternyata setelah mentraktir kita air mineral botol dingin, which is sangat diimpikan di moment itu, dia minta balas jasa -___-). Dan dengan isengnya, kak Baqi ngasi nomer PIN si abang Naichiih. Mwahahahah!. Karena takut ketahuan akhirnya kami segera mengambil langkah serebuuu. Si abangnya sempet nanya : Mbak kok belum di approve sih? dan kak Baqi dengan kalemnya menjawab : Iya, ntar deh di approve BB-nya lagi lowbat. Mwhahahah!
Sesampai du luar, barulah kami ngakak dengan puasnya.
Well, karena lupa makan siang. Ntah kenapa setelah keluar pasar, lapernya sangat sangat kerasa. Akhirnya kami memutuskan mencari makan dulu sebelum pulang. Tadinya saya mengusulkan makan nasi Kapau yang banyak mengemper di daerah Kramat Jati. Akan tetapi jalan ke sananya jauuh skali. Jadi kami makan nasi kapau yang ada di pelataran Pasar Senen saja. Setelah makan, kami kembali mengambil jalur sesuai awal kedatangan. Menuju gedung sebelah, keluar dari gedung, kemudian menyebrang menuju Stasiun Senen dan duduk manis di Metro Mini 17 yang akan membawa kami kembali ke Stasiun Cikini. Ternyata, malam di Jakarta itu asik juga. Banyak lampu-lampu jalanan kerlap kerlip. *_*
Dari Staisun Cikini, kami kembali naik Comuter Line tujuan Bogor, cuma menunggu beberapa saat dan keretanya pun datang. Harapan tadi bisa tidur nyenyak di kereta tidak kesampean, karena ternyata keretanya teteup aja penuh. Hwaaa! T.T
Yang agak mengesalkan di kereta itu blakangan ini adalah melihat orang yang dengan teganya membiarkan nenek-nenek atau ibu hamil berdiri sepanjang perjalanan sementara dia (anak muda, looks strong and healthy, i underline laki-laki) bisa chit chat senang dengan pasangan atau molor dengan nikmatnya. Haissh! makin gak ada empati aja manusia belakangan ini yaah.
Sesampai di Stasiun Bogor, kami kembali ke markas dengan riang gembira (read : lemes, capek, ngantuk). Sampai di kamar langsung membongkar belanjaan dan fitting hasil huntingan tadi. Setelah diitung-itung, saya dapat 6 lembar baju dengan menghabiskan Rp. 80.000. :)))
Saya rasa, Pasar Senen itu icon yang mesti di pertahankan keberadaannya. Di mana lagi bisa dapat baju murah meriah seperti itu. Yaa walaupun untuk mendapatkan barang yang bagus mesti rela berpeluh-peluh, tarik-tarikan ama orang, dan ngubek-ngubek baju segunung.
Ehh di tempat asal saya juga da sih yang mirip-mirip Pasar Senen. Adanya tiap malam minggu, semacam pasar malam. Barang dagangannya hampir sama seperti yang di Pasar Senen. Adanya di daerah Padduppa. Lokasinya di pinggir Sungai Padduppa, tapi entah kenapa dan sejak kapan, penduduk sana menyebutnya Pinggir Pantai. (padahal itu jelas-jelas sungai -__-).
Hmmm, dan karena ulah kaka Baqi perihal ngasi nomer PIN itu, sepertinya kami tidak akan menginjakkan kaki di Pasar Senen untuk beberapa saat ke depan. Takut abang-abangnya maish ngenalin muka kami bertiga.

Yang belom mencoba. Silahkan mencobaaa..!
Yeeeay! Hidup barang murah dan lucu..!!

Monday, October 22, 2012

Kapurung...


Kapurung...
Dari namanya, mungkin tidak banyak orang yang familiar, apalagi di tanah Sunda seperti Bogor ini...
Kapurung memang bukan makanan khas masyarakat Bogor. Hmm, well sedikit ego mungkin karena kangen yang amat sangat dengan masakan yang biasa dibuatkan mamak saya ini. Saking kangennya mbela-belain masak dan menjadikan teman-teman saya sebagai korban penikmatnya...
Kapurung adalah makanan khas dari Luwu, Sulawesi Selatan. Orang yang berdarah bugis atau pernah berkunjung ke daerah Luwu biasanya "ngeuh" sama makanan ini. Basically, bahan dasar makanan ini adalah sagu (salah satu bawaan wajib kalo abis mudik " sagu kering"). Kalo di kawasan paling timur Indonesia, sagu diolah menjadi Papeda yang biasanya disantap dengan kuah kuning atau sayur. Nah, agak geser ke daerah tengah Indonesia, sagu tadi disajikan dalam bentuk bola-bola kecil bercampur sayur mayur dan ikan/daging. 
Dari beberapa langkah memasak Kapurung ini, yang paling membuat tegang adalah cara mengolah sagunya. Sagunya tidak dimasak diatas kompor, melainkan disiram dengan air mendidih. Kalo takaran sagu dan airnya tidak pas atau airnya gak sampai mendidih, gak akan jadi deh itu adonan sagunya. Bisa keenceran atau kekentalan. 


ini adonan sagu yang sudah jadi, trus dibentuk jadi bola-bola sagu kecil

Nah, kalau di tempat asalnya sayuran-sayuran di dalam kapurung biasanya terdiri dari daun kacang/daun bayam/ daun melinjo, kacang panjang, terong bulet, jagung, jantung pisang, ditambah asam patikala (yang ini gak tau bahasa Indonesianya T.T ). Disamping itu sering dicampur ikan/daging sapi/daging ayam dan kacang goreng sebagai bahan tambahan. Bumbunya sendiri sangaaat sederhana, cuma perlu cabe rawit, tomat, garam, dan terasi. Pelengkap terakhir, jangan lupa kuah ikan masak dan air jeruk nipis. Jadi deh Kapurung yang lezat dan bergizi. Kalo dari rasanya sebenarnya adek kakak-an sih sama Tom Yam dan Sayur Asem, pedes dan asem. Paling pas dinikmati saat masih panas-panasnya.

Begini penampakan Kapurungnya....

Kalo menyadur quotenya Anthony Bourdain yang dicontek dari account sebelah, makanan itu soal budaya. Apa yang menjadi hasil proses belajar hidup sebuah komunitas masyarakat. Seperti halnya terciptanya Kapurung dengan memanfaatkan hasil alam yang memang melimpah di lingkungan. Di tanah asalnya, Kapurung tidak pernah luput dari keseharian masyarakat. Makanan ini juga bukan makanan yang bisa dinikmati hanya oleh satu dua orang, tetapi makanan yang memang paling cocok dinikmati segerombolan orang. Kenikmatan tiada tara memang saat tanding-tandingan menyendok kapurung ke piring masung-masing lalu di-sruput (lupa bilang, kalo makan sagunya itu gak dikunyah, tapi langsung ditelen :D ), kadang sampai lupa udah nambah berapa kali. 
Hmm, sayangnya di Bogor ini belum ada saya temukan warung yang menyediakan Kapurung jadi tak bisa merekomendasikan tempat yang pas. Well, silahkan berkunjung ke tanah Sulawesi Selatan kalau mau mencoba.. heheh.. 

   

Thursday, October 11, 2012

Merapat ke Hutan Rakyat...

Dipojokan ini, dua minggu sekali kami mengadakan obrolan. Title-nya sih "Kamisan", karena emang dilaksanakannya tiap hari Kamis. Intinya sih berbagi pengetahuan, tidak ada narasumber tunggal. Setiap orang menjadi narasumber bagi teman yang lain.

Obrolan ini sekarang sedang merapat ke Hutan Rakyat. Teman-teman tertarik berbagi pengetahuan seputar Hutan Rakyat atau small scale forestry. Kenapa ini menjadi topik yang menarik?

Ada teman yang bercerita, bahwa dibeberapa literatur seperti disini misalnya menyebutkan bahwa muncul tren pengelolaan hutan oleh masyarakat yang hasilnya - volume/potensi kayu dan penghasilan - ternyata lebih besar daripada hutan negara yang dikelola BUMN. Tren ini kemudian membawa kami kepada sebuah kesimpulan bahwa : seyogyanya masyarakat bisa - tanpa harus diatur dan diperintahkan - memenuhi kehidupan ekonominya sendiri.

Banyak cerita hasil jalan-jalan teman-teman di pojokan ini yang membuktikan simpulan tersebut. Seperti cerita yang di bawa dari Ciamis dan Tasikmalaya, 2010.. Ada loh gelar Haji Sengon karena bisa naik haji dari hasil menjual kayu sengon, ada yang bisa menyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi, ada yang punya kendaraan sampai untuk membiayai hajatan. 

Itu cerita indah-indahnya... dibalik itu, tetap saja banyak cerita-cerita yang tidak sukses melulu...Hmm, mungkin bukan tak sukses, tapi lebih ke, masyarakat atau petani tidak mendapatkan apa yang mereka harapkan... But, sebelum membahas yang tak sukses itu... teman-teman sedang membahas tentang modal sosial...

Modal sosial...
Apa sih modal sosial itu..?
Modal sosial adalah sesuatu yang secara genuine sudah melekat dalam satu kelompok masyarakat. Durkheim menyebut istilah “modal sosial” untuk menyatakan ikatan sosial antarmanusia di dalam sebuah masyarakat sangat penting untuk membentuk kohesivitas  sosial dalam mencapai tujuan bermasyarakat. Ia merupakan sebuah kekuatan untuk mencapai tujuan hidup bersama yang tidak mungkin dicapai secara personal (dikutip dari sini). Modal sosial menjadi sebuah trigger dalam sebuah masyarakat untuk mencapai tujuan bersama. Trust saya anggap sebagai sebuah kebutuhan laten untuk merekatkan modal sosial tersebut. 

Modal sosial dalam masyarakat dapat ditangkap dalam berbagai bentuk, misalnya saja kelompok tani hutan rakyat. Komunitas hutan rakyat yang secara bersama-sama memantapkan diri untuk membentuk kelompok unit manajemen kemudian mengikuti sertifikasi untuk memperoleh nilai tambah dari produksi hasil hutannya. Atau tidak perlu jauh-jauh, dalam keseharian masyarakat pedesaan misalnya masih banyak ditemukan budaya gotong royong, bersama-sama membersihkan kampung, saling membantu saat ada tetangga yang hajatan atau membersihkan makam sebelum lebaran dan lain-lain.

Kemassive-an modal sosial dalam masyarakat bukanlah hal yang tidak mungkin hilang, hasil obrolan hari ini, faktor kepentingan yang berbeda-beda bisa secara perlahan menggerus modal sosial masyarakat. atoo, efek globalisasi mungkin masuk juga kali yaa...Mengingat banyak sekali pengaruh teknologi yang semakin memperpendek jarak komunikasi/informasi tapi konon mendegradasi kualitasnya...

Nah, sudah dulu cerita tentang modal sosial...
Diskusi hutan rakyat masih akan berlanjut...












 

Saturday, September 29, 2012

Kembali memulai...

Kembali memulai...
Memulai untuk menyemangati diri belajar menulis...
Setelah memakan korban satu blog, yang dengan semena-mena di-non-aktifkan karena kok yaa perasaan yang ditulis isinya curahan hati semua... -_____-

ok!
the point is...
lets write down the story...

Bermula dari blog "Kuliner" ini nih sebenernya...
tiba-tiba hasrat pengen menulis datang lagi...
dan kembali menemukan hobi lama yang terlupakan, ngoprek-ngoprek blog orang...which is bring so much having fun :)))

Semoga bisa bercerita banyak hal di dalam ruang mungil ini...